Sabtu, 02 April 2011

Kalimat yang populer lewat iklan produk di media massa ini rasanya sudah tidak asing ditelinga. Ada yang menanggapinya biasa-biasa saja namun, tidak sedikit yang merasa terhina, lalu berusaha untuk membeli produk ini sebagai bentuk bukti bahwa Ia tak ketinggalan jaman.
Pembuktian bahwa kita tidak ketinggalan jaman bukan harus dengan membeli suatu produk terbaru yang tercipta dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia saat ini, melainkan dengan berusaha untuk menciptakan sesuatu yang baru lebih daripada yang ada saat ini.
Inilah hakekat dari makna daya saing bangsa yang menjadi tuntutan di era globalisasi ini. Generasi muda Indonesia harus menyadari bahwa bukan saatnya lagi kita menjadi konsumtif melainkan sudah saatnya semua orang Indonesia menjadi produktif.
Bukanlah sesuatu yang sulit untuk mengembangkan daya saing bangsa jika saja sistem pendidikan bangsa ini menjadi prioritas dari semua pihak. Namun, kenyataannya semua itu jauh dari mimpi. Dunia pendidikan masih dijadikan proyek dan seolah-olah sengaja dibendung agar tidak mengancam pimpinannya. Akhirnya generasi penerus bangsa Indonesia hanya akan menjadi generasi yang kerdil dan siap-siap untuk diinjak-injak bangsa lain.
Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah :

1. Menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini mau tidak mau sudah berada di era persaingan,
2. Mengunakan sistem pendidikan berbasis kompetensi yang sungguh-sunggguh,
3. Menjaga kuntinuitas dan eksistensi peran anak bangsa

Tiga syarat yang memang gampang disebutkan alias ditulis tetapi sangat sulit untuk dilakukan. (Tetapi jika tidak sekarang kapan lagi? Dan kalau bukan kita yang memulai lalu siapa lagi?)

1. Menumbuhkan kesadaran bahwa bangsa ini, mau tidak mau sudah berada di era persaingan.
Artinya, bukan hanya para ilmuwan yang punya kewajiban menemukan hal-hal baru untuk diperkenalkan para dunia. Sedini mungkin (bisa mulai dari pelajar sekolah dasar) sudah ditanamkan prinsip untuk selalu ‘penasaran’ akan hal-hal baru yang positif termasuk memperkenalkan hal-hal dasar tentang teknologi terbaru.
Misalnya memperkenalkan apa itu internet, bagaimana sebaiknya menggunakannya serta apa yang seharusnya tidak perlu kita lihat. Kata “kesadaran” yang dimaksudkan juga menyangkut sadar akan dampak positif dan negatif ketika kita menjalankan sesuatu.
Memaksakan pelajar untuk mengerti tentang teknologi canggih bukanlah bagian dari eksploitasi anak karena ketika diperkenalkan tentang internet orang tua atau seseorang yang lebih tua harus menanamkan ‘doktrin’ bahwa kita mengenal ‘barang ini untuk menciptakan ‘barang’ baru yang lebih berguna bangsa ini. Dengan demikian harapan agar anak tidak membuka situs porno saat membuka internet bukan impian belaka. Ketakutan teknologi bisa menyesatkan generasi pun tertepiskan.
Apa bukti bahwa kesadaran tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni bisa meningkatkan kreasi dan prestasi anak bangsa? .
INGAT JAMAN DOELOE : Dua orang bocah sedang belajar hanya menggunakan lilin karena krisis listrik di Sulut. (foto: Danny Permana/TM)
Ini rahasia umum bagi mereka. Kenapa kita tidak meneladani kesadaran tersebut yang riil membuat kedua bangsa ini menjadi adikuasa saat ini? Mengapa yang ada hanyalah keinginan yang secara sadar untuk mengakses situs-situs ‘tidak jelas’ atau menonton film-film fiktif dan berbuntut pada kekerasan keluaran Hollywood?
SADARLAH kita sedang dibodohi dari dunia entertainment yang bertopeng dibalik isu perkembangan teknologi perfilman dan hal-hal serupa ini dibidang yang lain.
KITA harus SADAR bahwa kita senantiasa harus jeli, alias cerdik seperti ular dan pintar seperti MERPATI. Saat ini kita memang tak bisa memungkiri bahwa teknologi mereka (Amerika, Jepang dan negera-negara Eropa lainnya) berkembang pesat, tetapi jangan pasrah dengan semua itu! Saatnya kita bangkit karena kita BISA lebih baik dari mereka. Kita punya otak yang lebih segar hanya kesadaran yang belum tumbuh. INGAT! Dunia ini berputar. Tidak ada hal yang mustahil? Karena berabad-abad lalu Amerika dan Jepang bukan apa-apa…Mari belajar dari sejarah lalu ciptakan sejarah bahwa Indonesia Bisa!!!
Selain itu, hal yang perlu kita lakukan saat ini adalah SADAR bahwa kita generasi Indonesia harus menjadi produktif (menciptakan produk diberbagai bidang yang kita tekuni) bukan menjadi konsumtif (hanya tahu memakai hasil temuan orang lain, apalagi temuan bangsa lain).

2. Mengunakan sistem pendidikan berbasis kompetensi yang sungguh-sungguh,

Maksudnya adalah menanamkan, memupuk dan mengembangkan kesadaran bahwa pendidikan adalah kunci untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga bangsa ini dari waktu ke waktu tetap memiliki generasi yang punya daya saing di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni maupun bidang lainnya.
Sebelumnya, marilah sejenak kita menengok apa arti pendidikan? (Jangan hanya tahu sebut dan mengkolaborasikannya dengan kata-kata ilmiah tetapi tak tahu maknanya!)
Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan: proses, cara, pembuatan mendidik,”

Satu saja makna pendidikan, lalu cobalah kita renungkan…
Kata ‘proses’ memaknai suatu keadaan yang akan diubah membutuhkan waktu. Lalu apa yang bisa kita lakukan dengan menggunakan sistem berbasis kompetensi?
A. Penerapan kurikulum berbasis kompensi jangan hanya menjadi slogan semata. Pendidikan berbasis kompetensi menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan suatu jenjang pendidikan.
B. Kompetensi yang sering disebut dengan standar kompetensi adalah kemampuan yang secara umum harus dikuasai lulusan. Kompetensi menurut Hall dan Jones (1976: 29) adalah “pernyataan yang menggambarkan penampilan suatu kemampuan tertentu secara bulat yang merupakan perpaduan antara pengetahuan dan kemampuan yang dapat diamati dan diukur”. Kompetensi (kemampuan) lulusan merupakan modal utama untuk bersaing di tingkat global, karena persaingan yang terjadi adalah pada kemampuan sumber daya manusia (SDM). Oleh karena. itu, penerapan pendidikan berbasis kompetensi diharapkan akan menghasilkan lulusan yang mampu berkompetisi di tingkat global. Implikasi pendidikan berbasis kompetensi adalah pengembangan silabus dan sistem penilaian berbasiskan kompetensi.
C. Proses pengembangan pendidikan kurikulum berbasis kompetensi juga menggunakan asumsi bahwa pelajar yang akan belajar telah memiliki pengetahuan dan keterampilan awal yang dibutuhkan untuk menguasai kompetensi tertentu. Oleh karenanya pengembangan sistem pendidikan (kurikulum) perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut:
1. Berorientasi pada pencapaian hasil dan dampaknya
2. Berbasis pada Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
3. Bertolak dari Kompetensi Tamatan/ Lulusan
4. Memperhatikan prinsip pengembangan kurikulum yang berdiferensiasi
5. Mengembangkan aspek belajar secara utuh dan menyeluruh (holistik), serta
6. Menerapkan prinsip ketuntasan belajar. (Swara Ditpertais: No. 17 Th. II, 18 Oktober 2004)
3. Menjaga kuntinunitas dan eksistensi peran anak bangsa

Generasi muda harus 'dikenalkan' secara dini tentang IPTEK dan Seni (Liberty Roeroe/TM)
MAU tidak mau, kehidupan kita saat ini senantiasa dibayangi perkembangan IPTEKS (baca: Ilmu, Teknologi dan Seni) dengan akselerasi laju yang luar biasa. Hal ini pun sudah menyebabkan terjadinya “ledakan informasi”. Pertumbuhan pengetahuan pada tahun 80-an saja berjalan dengan kecepatan 13% per tahun. Ini berarti bahwa pengetahuan yang ada akan berkembang menjadi dua kali lipat hanya dalam tempo kira-kira 5,5 tahun. Akibatnya pengetahuan dalam bidang tertentu menjadi “kadaluwarsa” hanya dalam tempo kira-kira 2,5 tahun. (Dikutip dari Miguel Ma.Varela, Education for Tomorrow, APEID, Unesco PROAP, Bangkok, 1990, oleh Santoso S. Hamidjojo).
Artinya, kita harus membuat komitmen pribadi untuk maju dan terus maju. Kita harus menjaga kesadaran dengan menjaga sistem pendidikan yang ada di Indonesia agar mengarah pada tujuan menciptakan generasi bangsa Indonesia yang produktif bukan yang konsumtif belaka. Mari menciptakan dan bukan menjadi plagiator semata. Teladani yang baik dan kembangkanlah. Jadilah seseorang yang produktif bukan konsumtif. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar